Implementasi Prinsip-Pinsip Good Governance di Pemerintahan
Provinsi Aceh Menurut Perspektif
Syari’at Islam Sesuai Qanun Nangroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002
Oleh
MOHD HADIDI
NIM 201420380211029 Oleh
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Usulan judul tesis
ini akan membahas tentang Implementasi Prinsip-Pinsip Good Governance di
Pemerintahan Provinsi Aceh Menurut Perspektif
Syari’at Islam Sesuai Qanun
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor
11 Tahun 2002, mengingat prinsip Good
Governance dan Syari’at Islam mempunyai dua permasalahan yang berbeda dasar
hukumnya. Adapun yang menjadi norma hukum dalam penerapan prinsip-prinsip Good
Governance yaitu Peraturan Pemerintah (PP). No.101 Tahun 2000 (pasal 2
huruf d) tentang pemerintahan yang baik dengan mengembangkan dan menerapkan
prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transpransi, pelayanan prima,
demokrasi, evisiensi, efektivitas, supermasi hukum yang dapat diterima seluruh
masyarakat dan dapat diterapkan dalam pemerintahan.[1]
Sedangkan norma hukum dalam pelaksanaan Syari’at
Islam di pemerintahan Provinsi Aceh adalah Qanun provinsi Nangroe Aceh
Darussalam Nomor 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi
Aceh, pasal 2 dinyatakan bahwa tujuan dan fungsi pengaturan pelaksanaan
Syaria’at Islam bidang akidah, Ibadah, dan Syi’ar bertujuan untuk (a).Membina
dan memelihara keimanan dan ketakwaan induvidu dan masyarakat dari pengaruh
ajaran sesat. (b). Meningkatkan pemahaman dan mengamalan ibadah serta
penyediaan fasilitasnya. (c). Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan
Syi’ar Islam guna menciptakan suasana lingkungan masyarakat yang Islami.
Dengan demikian diharapkan adanya
pemahaman dan pengamalan Syari’at Islam dengan baik maka seluruh pemangku
kepentingan dapat menerapkan prinsip-prinsip Good Governance dengan
baik. [2]
Prinsip-prinsip Good Governance
inilah yang diharapkan dapat diterapkan pada pemerintahan provinsi Aceh sebagai
kawasan daerah yang menerapkan Syari’at Islam. Untuk memudahkan penelitian tentang penerapan prinsip-prinsip Good
Governance di Aceh penulis membatasi hanya mengambil empat prinsip Good
Governance yang dianggap bersinergi dengan Syari’at Islam yaitu Profesionalisme,
Accountability, Transparency, dan Rule of Law.
Berbicara tentang penerapan
Prinsip-prinsip Good Governance secara spesifik memang tidak ada yang
membahas secara khusus di dalam Al-Qur’an, Namun al-Qur’an memberikan
keterangan secara tersirat dan ini diterangkan oleh al-Hadits yang berusaha
menerangkan apa yang tersirat di dalam al-Qur’an. Karena itu keharusan, penerapan
prinsip-prinsip Good Governance dalam Syari’at Islam dapat kita temui
lewat beberapa penjelasan hadits dibawah ini yaitu:
a.
Kebutuhan
terhadap seorang pemimpin, tanggung jawab pemimpin terhadap rakyatnya serta
hubungan timbal balik antara pemimpin dan rakyat atas dasar saling mencintai.
Hadits Rasulullah menjelaskan “Jika ada tiga orang, maka tunjuklah salah
satu menjadi pemimpin (HR.Abu Daut), Selanjutnya, dalam Hadits Ibnu umar r.a berkata : saya telah
mendengar rasulullah saw bersabda: Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabanatas
kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal
rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya perihal keluarga yang
dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga suaminya akan ditanya
perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang pembantu pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan
akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) dari hal yang dipimpinnya,”
(HR. Bukhari dan Muslim).[3]
b.
Wajib mentaati pemimpin kecuali untuk tujuan
maksiat. Sebagaimana Hadits Rasulullah SAW
berikut:“Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi beliau bersabda, “Bagi
setiap muslim, wajib taat dan mendengar kepada pemimpin (penguasa) kaum
muslimin dalam hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai (dibenci) kecuali
jika diperintahkan dalam maksiat. Jika diperintahkan dalam hal maksiat, maka
boleh menerima perintah tersebut dan tidak boleh taat.”
Muttafaqun ‘alaih. (HR. Bukhari no. 7144 dan Muslim no. 1839).[4]
c.
Prinsip tolong menolong, terutama terhadap
kaum yang lemah, sebagaimana sabda Rasulullah Saw:”Jika ada diantara kita
mempunyai kelebihan bekal, maka berikanlah kepada orang yang membutukan,”(HR.Abu
Daut), selanjutnya juga dikatan”Belum sempurna iman seseorang sebelum ia
mengasihi orang lain sebagaimana ia mengasihi dirinya sendiri “(HR.Bukhari dan
Muslim).
d.
Prinsip
kebebasan berpendapat, seperti sabda Rasulullah yang mengatakan berikut ini: Tiga
alternatif untuk mencegah kemungkaran ialah: pertama denga kekuasaan, kedua
dengan nasehat, dan ketiga dengan hati (HR. Ahmad bin Hambal).
e.
Prinsip
sama di depan hukum hal ini Rasulullah mengatakan bahwa;”Seandainya Fatimah
binti Muhammad mencuri, pasti akan juga di potong tanganya” (HR. Ahmad Ibnu
Hambal).
f.
Prinsip
mengangkat para pejabat menurut kemampuanya, bukan atas dasar keinginan sebagaimana
yang dikatan Rasulullah bahwa;”Jangan kamu meminta suatu jabatan
pemerintahan, sebab jika jabatan itu diberikan kepadamu tampa ada
permintaan darimu maka akamu akan mendapatkan kekuatan melaksanakanya. Jika
kamu telah diangkat dengan suatu sumpah, kemudian kamu melihat orang lain yang
lebih baik untuk menduduki jabatan itu, maka serakanlah ia kepada orang itu dan
lepaskanlah sumpah jabatanmu,”(HR.Ahmad Ibnu Hambal)[5]
Penerapan Prinsip-prinsip Good
Governance di provinsi Aceh menurut hemat penulis sangat munkin bisa bersinergi
dengan Syari’at Islam mengingat keduanya
tidak bertentangan dengan masalah aqidah. Maka disini tugas dan tanggung jawab
penerapan prinsip Good Governance dan pelaksanaan Syari’at Islam adalah
pemerintah (umara) dan ulama. Masyarakat dan aparatur pemerintah Aceh
seharusnya sangat mendukung penerapan prinsip Good Governance dan
pelaksanaan Syari’at Islam.
Good Governance adalah hal yang baru bagi masyarakat Aceh dan Syari’at Islam bukan
hal yang baru serta sudah menjadi bagian pribadi mukmin dan muslim. Persoalan
yang terjadi sekarang adalah bagaimana mensinergikkan Good Governance
dengan Syari’at Islam secara baik dan benar. Diharapkan dengan bersinerginya
prinsip Good Governance dan Syari’at Islam dapat menciptakan dan
memberdayakan seluruh aparatur pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi
Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada dasarnya hal ini mudah untuk dilakukan.
Mengingat dalam diri masyarakat Aceh
nilai-nilai Syari’at Islam telah tertanaam secara baik dan benar sejak lahir.
Syari’at Islam yang di anut pada dasarnya adalah Amar Ma’ruf Nahi Munkar
yaitu Syari’at Islam yang menyuruh berbuat baik (ma’ruf) dan menjauhi
yang menyimpang (mungkar) serta mendukung kepentingan negara serta
berpedoman pada akhlaq Nabi Muhammad Saw, yang tercermin dalam empat sifatnya
yaitu Siddiq (benar), Amanah (dapat dipercaya), Fathanah
(cerdas), dan Tabliq (menyampaikan). Sifat atau asas ini dapat
diwudutkan oleh masyarakat Aceh untuk membangun pemerintahan yang baik sesuai
dengan nilai-nilai akhlaq dalam Syari’at Islam. Sifat Nabi itu juga merupakan
cerminan pertanggungjawaban dalam bekerja, adanya kecerdasan dalam berbuat,
membenarkan yang benar dan menyatakan yang salah apabila itu yang salah dan
menyampaikan apa yang diperintahkan untuk di sampaikan.[6]
Jika dihubungkan dengan prinsip-prinsip Good Governance
yang berlaku saat ini seperti yang dikemukakan Bintoro[7]
meliputi karateristik (a).akuntabilitas,(b) transparansi, (c).profesionalisme,
dan (d) penegakan hukum. Keempat karateristik tersebut juga dapat disejajarkan
denganSyari’at Islam dengan tidak bertentangan dengan prinsip Aqidah, Ibadah,
dan Syi’ar Islam.
Demikian pula untuk
menginternalisasi prinsip Good Governance menurut persepektif Syari’at
Islam seperti Siddiq (benar), Amanah (dapat dipercaya), Fathanah
(cerdas), dan Tabliq (menyampaikan) secara efektif dalam pemerintahan
provinsi Aceh. Namun tantangan utama dalam penerapan prinsip-prinsip Good
Governance menurut persepektif Syari’at Islam ada dua faktor yaitu internal
dan ekternal di pemerintahan provinsi
Aceh.
Faktor internalnya adalah aparatur
pemerintahanya yang masih kurang memahami apa sebenarnya prinsip-prinsip Good
Governance, dan nilai-nilai Syari’at Islam. Sedangkan tantangan
eksternalnya adalah kebijakan pemerintah tentang penerapan Syari’at Islam masih
dilaksanakan setangah hati. Maksudnya, di satu sisi Syari’at Islam harus
ditegakan, disisi yang lain dalam pelaksanaanya belum dibarengi dengan aturan
yang jelas, mungkin hal ini disebabkan terkait pembiayaan yang terbatas, pola
kesadaran yang masih minim, ataupun fasilitas sarana perasarana penunjang
kesejatraan yang masih kurang.
Hal inilah yang menarik penulis
untuk mengkaji dan menganalisis lebih dalam yang akan penulis deskripsikan, dan
analisis secara gamblang dan mendalam di dalam tesis ini nantinya sehingga
penelitian ini akan mengambil judul: Implementasi Prinsip-Prinsip Good Governance Menurut Perspektif Syari’at
Islam Sesuai Qanun Provinsi Aceh Nomor 11 Tahun 2002[8]).
1.2
Penegasan Istilah
Secara
teori good governance adalah istilah asing yang digunakan dalam
membentuk pemerintahan yang baik dan melaksanakan pelayanan yang tidak
menyimpang. Tujuan utamanya adalah untuk membentuk intitusi-intitusi pemerintah
yang baik untuk kepentingan pelayanan publik. Namun secara konseptual istilah good
govrernance mengandung dua
pemahaman. Pertama, nilai yang menjunjung
tinggi keinginan atau kehendak rakyat serta nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat
dalam mencapai tujuan nasional, kemandirian pembangunan yang berkelanjutan dan
keadilan sosial. Kedua,
aspek fungsional dari pemerintah
yang efektif dan
efisien dalam pelaksanaan
tugasnya untuk mewujudkan tujuan nasional.[9]
Prinsip-prinsip Good Governance
yang berlaku saat ini seperti yang dikemukakan Bintoro[10]
meliputi karateristik (a).akuntabilitas,(b) transparansi, (c).profesionalisme,
dan (d) penegakan hukum. Keempat karateristik tersebut juga dapat disejajarkan
denganSyari’at Islam dengan tidak bertentangan dengan prinsip Aqidah, Ibadah,
dan Syi’ar Islam yaitu Prinsip- prinsip Good Governance menurut
persepektif Syari’at Islam seperti Siddiq (benar), Amanah (dapat
dipercaya), Fathanah (cerdas), dan Tabliq (menyampaikan) secara
efektif dalam pemerintahan provinsi Aceh.
Sedangkan Syari’at Islam adalah
merupakan segala aturan yang ditentukan oleh Allah untuk para hamba-hambanya
baik yang berkenaan dengan masalah-masalah aqidah, Syari’ah, akhlaq. Disini ada
hablum al minallah dan hablum minannas yaitu hubungan manusia
dengan Allah dan hubungan manusia dengan sesamanya, serta hubungan manusia
denga lengkungannya.
Dalam hal ini di Provinsi Aceh yang
merupakan kawasan daerah yang menerapkan Syari’at Islam sesuai dengan Qanun provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor
11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan Syari’at Islam di Provinsi Aceh, pasal 2
dinyatakan bahwa tujuan dan fungsi pengaturan pelaksanaan Syaria’at Islam
bidang akidah, Ibadah, dan Syi’ar bertujuan untuk (a).Membina dan memelihara
keimanan dan ketakwaan induvidu dan masyarakat dari pengaruh ajaran sesat. (b).
Meningkatkan pemahaman dan mengamalan ibadah serta penyediaan fasilitasnya.
(c). Menghidupkan dan menyemarakkan kegiatan-kegiatan Syi’ar Islam guna
menciptakan suasana lingkungan masyarakat yang Islami. [11]
1.3
Rumusan Masalah
1.
Apa
relevansi penerapan prinsip-prinsi Good Gavermance dengan Qanun Syari’at
Islam pada pemerintah Aceh berdasarkan
Qanun Nomor 11 Tahun 2002?
2.
Bagaimana
penerapan prinsip-prinsip Good Gavernance di pemerintahan Provinsi
Aceh Menurut Syari’at Islam sesuai Qanun
Nomor 11 Tahun 2002?
3.
Faktor-faktor
apa yang mendorong dan menghambat dalam penerapan prinsip-prinsip Good
Gavernance di pemerintahan provinsi
Aceh.?
1.4
Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan di atas,
telah mencerminkan fokus
penelitian dalam tesis
ini. Untuk itu,
secara lebih operasional
dan terinci yang
menjadi tujuan penelitian dalam tesis ini adalah sebagai berikut:
1.
Mendeskripsikan
dan menjelaskan relevansi penerapan prinsip-prinsip Good Gavermance dengan
Qanun Syari’at Islam pada pemerintah
Aceh berdasarkan Qanun Nomor 11 Tahun 2002.
2.
Menjelaskan
dan menganalisis penerapan prinsip-prinsip Good Gavernance di
pemerintahan Provinsi Aceh Menurut
Syari’at Islam sesuai Qanun Nomor 11 Tahun 2002?
3.
Menjelaskan
dan menganlisis Faktor-faktor yang
mendorong dan menghambat dalam penerapan prinsip-prinsip Good Gavernance
di pemerintahan provinsi Aceh
1.5
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapakan dapat
memberikan sumbangan pemikiran berupa
temuan-temuan yang bermanfaat bagi proses pengembangan ilmu pengetahuan secara
spesifik ada dua manfaat yang ingin saya capai meliputi:
1.
Aspek
akademis; mengingat penelitian ini bidang Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (HTN-HAN) dan masih
tergolong langkah, maka dalam aspek ini diharapkan dapat meransang aparatur
pemerintah Provinsi Aceh untuk menekuni prinsip-prinsip Good Gavermance dalam persepektif Syari’at Islam sebagai
landasannya untuk meningkatkan kinerja Islami, serta dapat menambah literatur
pembendaharaan perpustakaan.
2.
Aspek
praktis; penelitian ini dapat
direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan pemerintah provinsi Aceh dalam pengambil
kebijakan untuk memaksimalkan penerapan delapan prinsip-prinsip Good
Gavermance berdasarkan Syari’at
Islam sesuai dengan Qanun No 11 Tahun 2002.
BAB II
Tinjauan Pustaka
2.1
Pengertian Good Governance
Dalam kamus, istilah “government” dan “governance” seringkali dianggap
memiliki arti yang sama yaitu cara
menerapkan otoritas dalam suatu
organisasi, lembaga atau negara. Government (pemerintahan) juga nama
yang diberikan kepada entitas yang menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan dalam suatu
negara. Istilah “governance” sebenarnya sudah dikenal dalam literatur
administrasi dan ilmu politik hampir 120 tahun, sejak Woodrow Wilson, yang kemudian menjadi
Presiden Amerika Serikat ke-27, memperkenalkan bidang
studi tersebut kira kira 125 tahun yang lalu. Tetapi selama
itu governance hanya digunakan dalam literatur politik dengan pengertian
yang sempit.[12]
Meskipun diyakini oleh
sebagian penulis bahwa
istilah good governance telah
digunakan jauh lebih
awal, tetapi istilah
ini baru kemudian menjadi perhatian berbagai
pihak ketika IMF,
UNDP dan World Bank memperkenalkannya. Berkenaan dengan
pengertian good governance, UNDP, seperti yang dikutip Syamsul Anwar,[13] mendefinisikan good governance
sebagai penggunaan wewenang politik,
ekonomi dan adminsitrasi
untuk mengelola urusan suatu
bangasa pada semua
tingkatan (the exercise of political, economic, and
administrative authority). Sedangkan World Bank mendefinisikannya sebagai
cara bagaimana kekuasaan negara digunakan dalam rangka mengelola sumber daya
ekonomi dan sosial untuk kepentingan pembangunan dan masyarakat
(the way state power is used
in managing economic and social
resources for development and society).
Lebih lanjut, Bank
Dunia memberikan pengertian secara spesifik yaitu good governance
adalah upaya penyelenggaraan
manajemen pembangunan negara yang solid dan bertanggung jawab serta
sejalan dengan prinsip
demokrasi dan pasar
yang efisien, penghindaran salah alokasi dana
investasi, dan pencegahan korupsi
baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta
penciptaan legal and political framework bagi
tumbuhnya aktivitas usaha
dalam rangka mengelola
sumberdaya ekonomi dan sosial untuk kepentingan
pembangunan dan masyarakat.[14]
Secara konseptual pengertian good Governance dalam istilah good govrernance mengandung
dua pemahaman. Pertama, nilai
yang menjunjung tinggi
keinginan atau kehendak rakyat serta nilai-nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat
dalam mencapai tujuan nasional, kemandirian pembangunan yang
berkelanjutan dan keadilan
sosial. Kedua, aspek
fungsional dari pemerintah yang
efektif dan efisien
dalam pelaksanaan tugasnya
untuk mewujudkan tujuan nasional.[15]
Sisi lain memaknai good governance sebagai
penerjemaha kongkrit dari demokrasi. Tegasnya, menurut
E.B. Taylor, good governance
adalah pemerintahan demokratis
seperti yang dipraktikkan dalam negara-negara demokrasi maju di Eropa Barat dan Amerika misalnya. Demokrasi
sebagai suatu sistem pemerintahan dianggap sebagai suatu sistem perintahan yang
baik karena paling merefleksikan sifat-sifat good governance yang secara
normatif dituntut kehadirannya bagi suksesnya
suatu bantuan badan-badan dunia.
Ia merupakan alternatif dari sistem pemerintahan yang lain seperti totalitarinisme
komunis atau militer
yang sempat populer di
negara-negara dunia ketiga di masa perang dingin.[16]
Konsep governance (tata kelola pemerintahan) merupakan perluasan
dari konsep government (pemerintahan) karena di dalam governance terkandung pengertian
bahwa pemerintahan (goverment) tidak
hanya diselenggarakan oleh
pemerintah sendiri, tetapi bersama-sama denga
aktor-aktor di luar pemerintah,
yaitu masyarakat luas sebagai stakeholders. Dari sinilah
adanya anggapan bahwa pemerintah dirasakan tidak memadai dalam menyelesaikan
kompleksitas yang ada di masyarakat, sehingga di sinilah letak pentingnya peran good governance untuk membagi otoritas
pemerintah dengan
masyarakat secara proporsional.[17]
2.2
Prinsip-Prinsip Good Governance
Seorang pemerhati
persoalan ini menginventarisir beberapa
prinsip good governance dari beberapa lembaga. UNDP misalnya,
merekomendasikan beberapa karakteristik governance, yaitu legitimasi
politik, kerjasama dengan institusi masyarakat
sipil, kebebasan berasosiasi
dan berpartisipasi, akuntabilitas birokratis
dan keuangan (financial),
manajemen sektor publik yang efisien, kebebasan informasi dan
ekspresi, sistem yudisial yang adil dan dapat
dipercaya.
World Bank mengungkapkan sejumlah
karakteristik good governance antara lain masyarakat sipil yang kuat dan
partisipatoris, terbuka, pembuatan kebijakan yang dapat diprediksi, eksekutif
yang bertanggung jawab, birokrasi yang
profesional dan taat aturan hukum.
Masyarakat Transparansi
Indonesia menyebutkan sejumlah indikator seperti: transparansi, akuntabilitas,
kewajaran dan kesetaraan,serta kesinambungan. Sedangkan Asian Development
Bank sendiri menegaskan adanya konsensus umum bahwa good governance
dilandasi oleh 4 pilar yaitu:(1) Accountability, (2) Transparency, (3)Predictability
, dan (4) Participation.[18]
Apa yang tampak dari inventarisasi prinsip-prinsip good
governance yang dinyatakan oleh beberapa lembaga tersebut adalah bahwa prinsip-prinsip tersebut sangat
beragam. Dari sini terlihat bahwa pada dasarnya prinsip-prinsip tersebut dapat
ditambah dan dikurangi. Namun terlihat juga bahwa setidaknya ada beberapa
prinsip yang harus ada dalam good governance, yaitu:
1)
Prinsip Akuntabilitas
akuntabilitas sebagaimana yang dikemukakan
Prof Miriam Budiardjo
yaitu pertanggung jawaban pihak yang diberi mandat untuk memerintah
kepada mereka yang memberi mandat itu.[19]
Dengan prinsip ini, menjadi jaminan bahwa setiap kegiatan
penyelenggaraan pemerintahan dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka
oleh pelaku kepada
pihak-pihak yang terkena dampak
penerapan kebijakan. Dengan prinsip ini, menjadi jaminan bahwa setiap
kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku
kepada pihak-pihak yang
terkena dampak penerapan kebijakan.[20]
2)
Prinsip supremasi
hukum.
Supremasi hukum adalah
upaya untuk menegakkan dan
menempatkan hukum pada
posisi tertinggi yang
dapat melindungi seluruh
lapisan masyarakat tanpa
adanya intervensi oleh dan dari pihak
manapun termasuk oleh
penyelenggara Negara. Muladi menyatakan bahwa supremasi
hukum secara umum
mengandung elemen- elemen :
negara dan aparatnya harus secara konsisten tunduk pada hukum yang berlaku; keberadaan
kekuasaan kehakiman yang merdeka;
jalan masuk untuk memperoleh
keadilan (access to justice)
harus terbuka luas terutama bagi yang menjadi korban mala dministrasi
(perlakuan tidak adil); dan hukum harus ditegakkan secara adil, tanpa
diskriminasi dan menjamin kepastian hukum (just, equal and
certainty);[21]
Pentingnya supremasi
hukum ini, seperti yang
dinyatakan Agus M Tauchid, adalah
sebagai jaminan keteraturan dalam sebuah
tata pemerintahan yang
baik. Keteraturan bisa
tercapai jika ada
ketaatan hukum tak
hanya masyarakat biasa yang
seringkali menjadi obyek, tapi juga para penegaknya dan semua orang tanpa
kecuali. Karena itulah
dewi keadilan yang
menjadi lambang supremasi hukum matanya ditutup.[22]
3). Prinsip
Transparansi.
Prinsip ini mensyaratkan
adanya kebijakan terbuka bagi pengawasan maupun keterbukaan informasi
mengenai setiap aspek kebijakan pemerintah yang dapat
dijangkau oleh publik.[23]
Dengan prinsip ini maka good governance menjamin akses
atau kebebasan bagi setiap orang
untuk memperoleh informasi tentang penyelenggaraan pemerintahan, yakni
informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil
yang dicapai.[24]
Prinsip ini tentu
saja menuntut usaha afirmatif dari
pemerintah untuk membuka
dan mendiseminasi informasi
maupun aktivitasnya yang relevan.
Tetapi, seperti yang dinyatakan Loina Lalolo, transparansi harus seimbang,
juga, dengan kebutuhan akan kerahasiaan lembaga maupun
informasi-informasi yang mempengaruhi hak
privasi individu. Karena
pemerintahan menghasilkan data
dalam jumlah besar, maka dibutuhkan
petugas informasi professional, bukan untuk membuat dalih atas
keputusan pemerintah, tetapi untuk
menyebarluaskan
keputusankeputusan yang
penting kepada masyarakat
serta menjelaskan alasan dari
setiap kebijakan tersebut.[25]
4). Prinsip Partisipasi publik.
Partisipasi
yang memberikan pengertian setiap masyarakat memiliki hak suara
yang sama dalam proses pengambilan keputusan, baik secara
langsung atau melalui
lembaga perwakilan sesuai dengan aspirasinya
masing-masing.[26]
Loina Lalolo
Krina P menjelaskan
alasan kuatnya pastipasi publik sebagai prinsip good governance: pertama, ialah bahwa sesungguhnya rakyat sendirilah
yang paling paham mengenai kebutuhannya. Dan kedua, bermula dari kenyataan
bahwa pemerintahan yang modern cenderung semakin luas dan
kompleks, birokrasi tumbuh membengkak di luar
kendali. Oleh sebab
itu, untuk menghindari
alienasi warga negara, para warga negara itu harus dirangsang dan
dibantu dalam membina hubungan dengan aparat pemerintah.[27]
2.3. Good Governance Menurut Syari’at Islam
Mencermati hakikat
good governance yang
dijelaskan oleh para pakar, maka prinsip-prinip good governance tersebut sebnarnya bukanlah sesuatu hal yang
baru dalam Islam, bahkan telah dinyatakan
dan dipraktekkan belasan
abad yang lalu.
Itu sebabnya dapat dilihat dalam beberapa pernyataan sarjana muslim.
Nurcholish
Majid misalnya menyatakan bahwa
pemerintahan yang baik
sudah mulai ada
dengan diperkenalkannya
konsep-konsep penting seperti
partisipasi, konsensus,
keadilan, dan supremasi
hukum oleh Nabi
Muhammad SAW ketika
beliau membangun Madinah tahun
622 M. Kata
Madinah bermakna sebuah
tempat yang didiami orang-orang yang taat peraturan dan saling memenuhi
perjanjian yang diciptakan (disebut
al-uqud).
Supremasi hukum
merupakan salah satu pilar penting dalam Islam, karena tanpa
supremasi hukum, keadilan tidak akan pernah terwujud. Selain itu, dalam tata
pemerintahan di Madinah tiap individu berhak berpartisipasi dalam pengambilan
keputusan yang mempengaruhi hidup mereka
melalui pertimbangan dan konsultasi bersama (disebut
syura dan musyawarah).[28]
Namun demikian,
sepertinya konsep-konsep tersebut
menjadi langka dan asing.
Hal ini disebabkan
oleh sikap mental
dan political will dari
aktor pemerintahan dalam Islam. Andi
Bakti misalnya menulis
secara lebih jauh menulis: Akhirul kalam, jadi sebetulnya,
konsep dan gagasan dalam Islam sudah cukup kaya, dan
telah mengalami proses pengayaan yang sangat panjang
dalam sejarah. Sehingga pengalamannya
berinteraksi dengan dunia luar membuatnya
semakin kaya dalam hal
teori dan praksis.
Memang, ide,
konsep, serta gagasan
itu muncul-hilang dalam
sejarah. Karena bergantung dari sikap mental dan political will dari setiap aktor pemerintahan dalam Islam. Umpamanya, era
pemerintahan Nabi SAW di Madinah yang
disusul dengan era
pemerintahan Khulafa Rasyidin, dan sesudahnya
sungguh banyak produk-produk hukum
yang pernah ditemukan dan dikodifikasikan, bahkan memang pernah
dijabarkan dan diamalkan dalam sejarah Islam.
Namun, bagi umat Islam
pada umumnya, serta bangsa Indonesia pada
khususnya, pengalaman dan
gagasan serta ide itu seperti sudah terkubur jauh, dan tenggelam dalam sejarah.
Sehingga sekalipun
itu telah menjadi
khazanah umat Islam, sepertinya sudah menjadi asing dan
barang langka bagi mereka. Justru Bangsa "Barat" yang Yudais dan
Nashara atau bangsa Asia Timur yang
Konfusius itu, nampaknya telah
berhasil mendomestikasi barang yang telah liar dan
asing itu, yang sebelumnya
pernah dirangkul oleh
umat Islam, in and out, datang
dan pergi dalam
pengalaman pemerintahan Islam.[29]
Menyadari hal
itu, maka Syamsul Anwar menyatakan bahwa kita dapat mengkonstruksi suatu
pengertian good governance menurut
pandangan Syaria‘ah Islam dari
berbagai pernyataan terpencar dalam berbagai sumber Syari’ah itu sendiri.[30] Di samping
itu, konsep good
governance ini dapat
juga didekati dengan kaedah-kaedah fiqhiyah yang telah dirumuskan oleh
para fuqaaha dalam rangka
mempermudah menjawab persoalan-persoalan yang
muncul kemudian.
Lebih lanjut,
mengingat Syari’at Islam menghendaki negara dan pemimpinnya melaksanakan tugas
dengan baik dan benar. Dalam hal inilah
menurut pandangan Syari’at Islam good
governance tidak bertentangan dengannya. Karena good
governance menuntut pemerintahan yang baik. Bahkan good governance linearitas dengan Syari’at Islam karena tidak
berhubungan dengan Aqidah. Maka untuk lebih memahami good governance menurut Syari’at Islam berikut beberapa
landasan dalil (nas) al-Qur’an maupun Hadist Nabi Muhammad Saw sebagai
landasannya untuk dapat diterimanya good
governance dalam Syari’at Islam.
Di beberapa
Ayat al-Qur’an dapat dilihat seperti Kisah Nabi-nabi yaitu Zulqarnain (Q.S.
al-Kahfi: 83-101), Musa (Q.S.
al-Baqarah: 40), Thaluth (QS. Al-Baqarah:
246-252), Daud (QS. Shad: 18-26,
al-Ankabut: 15-45), Yusuf (QS. Yusuf: 55),
mengungkap banyak isyarat berkaitan
perjuangan mengimplementasi good governance.
Dalam
kisah-kisah tersebut, bagaimana
prinisp-prinisp good governance seperti manajemen sektor
publik yang efektif efisien (terutama dalam kisah Zulqarnain,
Musa, Thalut dan Daud),
sistem yudisial yang
adil dan dapat dipercaya (terutama dalam kisah Daud), kebebasan berasosiasi dan berpartisipasi (dalam semuah kisah Nabi) pencitaptaan kemakmuran dan kesejahteraan
(terutama dalam kisah Yusuf) telah
diperjuangkan oleh para Nabi.[31]
Dalam pelaksanan
tugas sebagai pengelola
umat, baik dalam
konteks keagamaan maupun sebagai pemimpin pemerintahan, para nabi memiliki sifat-
sifat seperti shiddiq, amanah, fathanah, istiqamah, dan tabligh. Sifat-sifat ini seperti yang
diungkapkan al-Qur‘an merupakan sifat yang harus dimiliki oleh para Nabi. Perhatikan beberapa ayat berikut: yang
terjemahan bebasnya, Dan tiadalah yang diucapkannya itu melaikan
dari wahyu (Al Qur'an), bukan menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya) (QS. Al-Najm: 3-4) Aku menyampaikan amanat-amanah Tuhanku kepadamu dan aku hanyalah pemberi nasihat yang
terpercaya bagimu (QS. Al-A‟raf: 68). Supaya
Dia mengetahui, bahwa
sesungguhnya rasul-rasul itu
telah menyampaikan risalah-risalah Tuhannya,
sedang (sebenarnya) ilmu-Nya
meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu (QS. Al-Jin: 28).
Andi
Faisal Bakti menyatakan bahwa
sifat-sifat ini dapat diparalelkan dengan beberapa
prinsip-prinsip yang terdapat dalam good governance. Sifat shiddiq yang dipahami sebagai
sikap jujur dapat dipadankan prinsip transparansi, sifat
istiqamah yang bermakna teguh
pendirian diparelelkan dengan prinisp
konsistensi atau komitmen, amanah yang berarti bertanggung jawab dapat diparalerkan
dengan akuntalitas, dan tabligh yang dipahami terbuka dengan yang dipahami
sebagai prinsip komunikatif.[32]
Tetapi,
iapun menyadari bahwa
sifat-sifat yang dimiliki
para nabi tersebut lebih luas
dibading prinsip-prinis tersebut. Shiddiq
misalnya, memiliki makna yang
lebih dalam karena
melibatkan sikap mental
dan hati nurani paling dalam.
Bila transparansi sebagai padanannya masih bisa dikelabui dengan mark-up yang lengkap
secara administratif dengan data
dan kuitansi faktur, bon,
bill, dan seterusnya,
yang tentu saja
secara material dan faktual dapat dilihat
transparan, tetapi masih
sangat mungkin terjadi
pemalsuan, penambahan digit,
dan pengurangan angka,
yang sukar dideteksi.
Sedangkan
yang dimaksudkan dengan
shiddiq adalah justru
yang paling diutamakan adalah yang
tak tampak, yang
immateri itu. Artinya,
pemalsuan, rekayasa, penambahan,
tidak akan terjadi,
sebab shiddiq mencakup
wilayah qalbiyah. Demikian pula
sifat amanah, menjamah
rona psikologi yang paling
dalam. Sebab amanah itu
mementingkan tanggung jawab
yang sangat hakiki
dalam hubungannya dengan umat manusia, yang selalu yakin bahwa ada yang
selalu mengawasi pelaksanaan tugasnya.
Juga dengan tabligh memiliki diparlelkan dengan prinisp komunikatif,
mencakup semua aspek komunikasi
dan interaksi sesama manusia.
Data boleh hebat,
tetapi sejauh mana pemakaian
data itu agar
tetap berada pada
prinsip-prinsip kebenaran, bukan
pengelabuan data, bisa dipertanggungjawabkan.[33]
Di sisi lain,
beberapa nilai dasar menjadi asas tata kelola di dalam Islam menjadi
landsan bagi apa
yang disebut sebagai
good governance Dalam sebuah tulisannya
tentang good governance, Syamsul
Anwar mengungkap beberapa nilai
dasar tersebut, yaitu:
Pertama, nilai
syura. Nilai didasarkan pada
pernyataan al-Qur‘an: dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan
itu (QS. Ali
Imran: 159). Dari nilai
ini dapat diturunkan
asas hukum penyelenggaraan pemerintahan
berupa asas partisipasi
masyarakat.
Kedua, nilai
meninggalkan sesuatu yang
tidak bermanfaat. Hal ini
didasarkan pada hadis dari
Abu Hurairah: Sebaik-baik Islam seseorang adalah bahwa
ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna riwayat (HR. Tirmidzi dan
Ahmad). Dari nilai ini dapat diturunkan asas efisiensi dalam penyelenggaraan kepentingan publik
(bahkan kepentingan diri
sendiri juga).
Ketiga, nilai
keadilan. Dalam Islam penegasan tentang keadilan dilakukan secara berulang ulang
dalam al-Qur‘an, misalnya: berbuat adillah kamu, (karena) berbuat adil itu lebih
dekat kepada takwa (QS.
Al-Maidah: 8), dan
apabila kamu memberi keputusan,
hendaklah kamu memutuskan dengan adil (QS. Al-Nisa‘: 58). Dari nilai keadilan diturunkan asas
perlakuan yang sama (al-muamalah bi al-mitsl) . Perlakuan yang sama dalam hukum Islam menjadi
landasan hubungan antar manusia termasuk pemberian pelayanan.
Keempat, nilai
ukhwah dan tanggung
jawab. Nilai ini didasarkan dari nilai
yang dapat diturunkan asas responsivitas dalam
pemberian pelayanan. Responsivitas ini dapat
dipahami sebagai kemampuan untuk
mengenali kebutuhan masyarakat, menyusun agenda dan
prioritas pelayanan, serta
merencanakan program program pelayanan
yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Kelima, nilai
amanah. Al-Qur‘an menyatakan:
....dan janganlah kamu menyembunyikan kebenaran padahal kamu
mengetahuinya (QS. Al-Baqarah: 2: 42).
Salah satu asas yang dapat ditarik dari
nilai ini adalah asas transparansi dan akuntabilitas.
Keenam, nilai orientasi
ke hari depan. Nilai ini bersumber dari al-Qur‘an yang menyatakan: Dan hendakla setiap orang
memperhatikan apa yang
dipersiapkannya untuk hari esok (QS. Al-Hasyar: 18). Dari nilai ini diturunkan
asas dalam pemerintahan visi strategis, yakni mampu merumuskan masa depan yang
hendak diwujudkan.[34]
Dari beberapa
nilai-nilai tersebut di atas, akhirnya dapat dibaca dalam ayat salah
satu ayat al-Qur‘an
di mana al-Qur‘an
meneguhkan nilai-nilai tersebut
harus dimiliki oleh
orang-orang yang diberi
otoritas dalam suatu bangsa. “ ... Dia telah
menciptakan kamu dari bumi (tanah
dan menjadikan kamu supaya memakmurkannya... (QS. Hud: 61) Kata
memakmurkan ditafsirkan oleh
sebagian mufasir dengan
melakukan tata kelola
dengan baik untuk
kehidupan sehingga tercapai kemaslahatan.[35] ”Yaitu
orang-orang yang jika
Kami teguhkan kekuasaan
mereka,niscaya mereka mendidikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh
berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada
Allah-lah kembali segala urusan,” (QS al-Hajj : 41).
Pembacaaan
terhadap ini melalui
dilalah isyarah, menurut Syamsul Anwar, akan terlihat
penggunaan otoritas
kekuasaan untuk mengelola pembangunan yang berorientasi pada :
a.
penciptaan suasana kondusif bagi masyarakat untuk
pemenuhan kebutuhan spritual dan
rohaniahnya sebagaimana disimbolkan oleh penegakan shalat,
b.
penciptakaan kemakmuran dan kesejahteraan
ekonom sebagaimana dilambangkan oleh
tindakan membayar zakat, dan (3) penciptaan stabilitas politik dan keamanan
sebagaimana diilhami oleh
tindakan amar ma‘ruf
nahi munkar. Singkat
kata dalam ayat
tersebut terdapat tiga
aspek Good governance yaitu:
Ø spritual governance,
Ø (economic governance, dan
Ø , political governance.[36]
Lebih lanjut, dalam
sebuah Hadits Nabi bersabda yang maknanya “Kutinggalkan kepadamu dua tugas,
jika kamu berpegang kepada keduanya tidak akan sesat selam-lamanya yaitu
al-Qur’an dan Sunnahku”, Dalam hal ini budaya kerja yang diterapkan dalam
sistem Syari’at Islam dititik beratkan pada perbuatan Rasulullah sebagi uswah
hasanah (panutan yang baik), Maka sebagi konsekuensi pelaksanaan Syari’at
Islam ada empat sistem yang harus dipegang yaitu:
1)
Shiddiq (jujur)
artinya memilikki sifat kejujuran yang diperaktekkan dalam bekerja, baik secara
ucapan, keyakinan, serta segala perbuatan yang sesuai dengan ketentuan Islam.
Tidak ada perbedaan antara ucapan dan perbuatan.
2)
Amanah (berpendirian)
Artinya tetap berpegang sesuai dengan iman dan unsur-unsur Syari’at yang baik
dan benar. Sanggup menghadapi berbagai tantangan dan rintangan yang menggoda
dirinya dengan penuh keteguhan, kesabaran dan keuletan.
3)
Fathanah (cerdik)
Artinya mengerti memahami dan menghayati secara mendalam segala yang menjadi
tugas dan kewajiban. Sifat ini akan menumbuhkan kreativitas dan kemampuan untuk
melakukan berbagai macam inovasi yang bermanfaat.
4)
Tabliq (menyampaikan)
yaitu mengajak sekaligus memberi contoh teladan kepada pihak lain agar melakukan
amar’ makruf nahi munkar. Katakanlah
yang benar meskipun pahit sekalipun.
2.3
Metode Penelitian
Pada
hakikatnya masalah metode
dalam suatu studi
tidak terlepas dari
apa yang menjadi pertanyaan dasar
atau perumusan masalah dan tujuan penelitian. Hal ini akan memberikan sinyal
kearah mana suatu penelitian akan digarap dan pendekatan apa yang
akan diterapkan.[37]Oleh sebab
itu, berdasarkan kerangka
pemikiran dan permasalahan dalam
studi ini, selanjutnya akan dikemukakan mengenai : a) Pendekatan
Penelitian; b) Tipe
Penelitian; c) Lokasi
Penelitian, d) Sumber Data, d) Instrumen Penelitian, f)
Sumber Data, g) Teknik Pengumpulan Data, h) Metode Pengolahan dan Analisis
Data.
a)
Pendekatan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
menjelaskan dan menganalisis
Implemntasi Prinsip-prinsip good governance di pemerintahan Provinsi Aceh
Menurut Perspektif Syari’at Islam Sesuai Qanun No 11 Tahun 2002 dalam rangka
untuk untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pelayanan publik dan membentuk pemerintahan yang baik
sesuai dengan prinsip good governance yang disinergikan dengan Syar’at Islam.
Oleh karena itu metode pendekatan yang penulis pilih dalam penelitian ini
adalah pendekatan undang-undang (statute approach).
Pendekatan
undang-undang (statute approach) [38]adalah
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang berkaitan
dengan tema penelitian dalam tesis ini. Mengingat penelitian dalam tesis ini sebagai
penelitian untuk kepetingan peraktis dan akademik.
Penelitian kepentingan
peraktis adalah pendengakatan undang-undang untuk membuka kesempatan bagi
peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu
undang-undang dengan undang-undangan lainnya atau antara undang-unang dengan undang-undang
dasar atau anatara regulasi dengan undang-undang. Hasil dari telaah tersebut
merupakan suatu argumen untuk memecah isu yang sedang tejadi.
Penelitian
kepentingan akademis adalah peneliti perlu mencari ratio legis dan dasar
antologis lahirnya undang-undang tersebut. Dengan mempelajari ratio
legis dan antologis suatu
undang-undang peneliti sebenarnya mampu mengkap kandungan filosofi yang ada di
belakang undang-undang itu. Maka untuk memehami filosofi yang ada di belakang
undang-undang itu, peneliti dapat menyimpulkan terkait ada tidaknya benturan
filosofis anatara undang-undang dengan isu yang dihadapi.[39]
b)
Tipe Penelitian
Pada dasarnya
tipe penelitian dibagi
menjadi 2 macam
yaitu :(1) Metode penelitian
kuantitatif, dapat diklasifikasikan menjadi 7
kategori yaitu penelitian deskriptif, penelitian
perkembangan penelitian tindakan, penelitian
perbandingan kausal penelitian
korelasional, penelitian eksperimental semu, dan penelitian eksperimental.
(2) Metode penelitian kualitatif
meliputi 7 jenis yaitu:
penelitian fenomenologikal,
penelitian grounded,
penelitian etnografi, penelitian historis, penelitian kasus,
penelitian filosofikal, dan
penelitian teori kritik
sosial. Penelitian-
penelitian deskriptif, perkembangan dan
tindakan dapat saja
dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif.
Berdasarkan
tipe penelitian tersebut, maka dalam tesis ini digunakan tipe penelitian kualitatif.
Menurut Kirk dan Miller
mendefenisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahua sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia
baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.[40]
Adapun Danim mengungkapkan bahwa,
metode penelitian kualitatif bersifat
deskriptif yaitu: data
yang terkumpul berbentuk
kata- kata, gambar, bukan angka-angka. Kalaupun ada angka-angka,
sifatnya hanya sebagai penunjang. Data
yang diperoleh meliputi transkip interview, catatan lapangan, foto,
dokumen pribadi dan lainnya.[41]
c)
Lokasi Penelitian
Menetapkan lokasi
penelitian merupakan hal yang cukup
penting untuk
mempersempit ruang lingkup serta mempertajam
permasalahan yang ingin
dikaji dalam suatu penelitian. Oleh karena itu penulis mengambil lokasi
dalam penelitian ini
di provinsi Aceh tepatnya di
Kota Banda Aceh sebagai ibu kota dari
provinsi Aceh. Mengingat provinsi Aceh merupakan provinsi satu satunya di
Indonesia yang mempunyai keistimewaan khusus untuk menerapkan Syari’at Islam
sebagai mana yang di atur dalam Qanun Nangroe Aceh Darussalam No 11 Tahun 2002
tentang penerapan Syari’at islam di Provinsi Aceh.
d)
Jenis dan Sumber Data
Menurut sumbernya,
data yang digunakan
dalam penelitian dibedakan menjadi dua, yaitu:
a.
Sumber data primer
dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari pengamatan (obsevasi),
lansung dilapangan atau tidak lansung (lewat media) dengan mengalisis informasi
yang telah diperoleh baik lewat wawancara, rekaman, data resmi, dari kalangan
birokrasi pemerintah, intelektual/akademisi dan anggota masyarakat di provinsi
Aceh.
b.
Sumber data sekunder dalam penelitian ini adalah dokumen-dokumen resmi, buku, diseratsi,
jurnal, majalah ilmiah, diperoleh
dari data-data yang
ada sebelumya baik berupa
catatan-catatan, koran, undang-undang, dokumen, laporan,
dan sumber-sumber lain
yang berhubungan dengan judul
penelitian dalam tesis ini.
e)
Teknik pengumpulan Data
Setelah pengumpulan
data dilakukan yang
meliputi data sekunder
melalui catatan-catatan,
koran, laporan, dan
sumber-sumber lain yang
berhubungan dengan Implementasi
perinsip-prinsip good governance menurut perspektif Syari’at Islam di
Pemerintahan Provinsi Aceh.
Serta
data primer yang diperoleh
langsung dari birokrasi pemerintah, akademisi atau intelektual, dan
masyarakat, maka data tersebut diolah dengan
melakukan pengklasifikasian, diman data
yang diperoleh kemudian dipilih
dan dikelompokkan sesuai dengan
fenomena yang diteliti.
Kemudian dilakukan proses editing yaitu
proses meneliti kembali
data dan informasi
yang diperoleh sehingga kesalahan dalam penelitian dapat
dihindari, dengan demikian di dapat kesempurnaan dalam kevaliditasan data.
Selanjutnya dilakukan analisis
data secara induktif
yang akan digunakan sebagai bahan dalam penulisan tesis ini nantinya.
f)
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah
peneliti sendiri menggunakan logika dan berfikir analitik sehingga mampu
mengverifikasi atau menyimpulkan fenomena yang dikaji, dan peneliti juga
bertindak sebagai perencana, pelaksana dalam pengumpul data, melakukan
analisis, menafsirkan data,
dan melakukan laporan penelitian. Selanjutnya langkah
berikutnya berusaha mencatat
dan mewawancarai informan berkaitan
dengan masalah yang akan diteliti dengan menggunakan sarna atau alat
pendukung dalam penelitian.
g)
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Setelah
pengumpulan data dilakukan yang meliputi
data sekunder melalui catatan-catatan, koran,
laporan, dan sumber-sumber lain
yang berhubungan dengan Impelemtasi prinsip-prinsi good
governace di pemerintahan Aceh sesuai dengan perspektif Syari’at Islam, serta
data primer yang diperoleh langsung
dari masyarakat, maka data tersebut diolah dengan melakukan pengklasifikasian, dimana data yang diperoleh
kemudian dipilih dan dikelompokkan sesuai
dengan fenomena yang
diteliti.
Miles dan
Suberman dalam di sertasi Jailani[42]
menyebutkan bahwa analisis data selama pengumpulan data membawa peneliti
mondar-mandir antara berfikir tentang data yang ada dan menyembangkan sterategi
untuk mengumpulkan data baru.
Melakukan
koreksi terhadap informasi yang kurang jelas dan mengarahkan analisis yang
sedang berjalan berkaitan dengan dampak pembangkitan kerja lapangan. Langkah
yang ditempu dalam pengumpulan data yaitu pengyusunan lembar rangkuman kontak (contak
sumary sheet), pembuatan kode-kode, pengkodean pola (pottern codding),
dan pemberian memo.
Anlisini
melibatkan pengerjaan, pengorganisasian,
pemecahan secara sintesis data serta pencarian pola, pengumpulan hal
yang penting, dan penentuan apa yang dilaporkan. Dalam penelitian kualitatif
ini analisis data yang dilakukan selama dan setelah pengumpulan data dengan
teknik-teknik misalnya nalisis domain, analisis taksonomis, analisis
komponensial, dan analisis tema.
Dengan demikian, analisis data yang digunakan dalam tesis
ini adalah analisis kualitatif dengan menggunakan cara berfikir deduktif,
yaitu metode pembahasan yang berangkat dari faktor-faktor yang bersifat umum,
kemudian ditarik ke dalam faktor-faktor yang bersifat khusus. Atau penalaran
yang menurunkan pernyataan-pernyataan menjadi suatu kesimpulan[43]
[1] Undang-Undang
Pertauran Pemerintah (PP). No.101 Tahun 2000 tetang Pendidikan dan pelatihan
Pegawai Negeri Sipil, pasal 2 huruf (d), (Tahun 2000), hal 05.
[2] Qanun Provinsi
Nangroe Aceh Darussalam No 11 Tahun 2002 tantang pelaksanaan syariat Islam
bidang aqidah, ibadah dan syi’ar Islam http://www.jdih.setjen.kemendagri.go.id/files/p_aceh_11_2002.pdf diakses pada
tanggal 24 Februari 2015.
[3] https://islamislogic.wordpress.com/kumpulan-hadits-shahih/40-tentang
hadits-tentang-pemimpin-dan-penjelasanya/ diakses pada tanggal 24 Februari
2015.
[4].https://islamislogic.wordpress.com/kumpulan-hadits-shahih/40-hadits-tentang-pemimpin-dan-penjelasannya/
(HR. Bukhari
no. 7144 dan Muslim no. 1839), diakses pada tanggal 24 Februari 2015
[5] Ibid hal.2
[6] .Jailani,
“Penerapan Prinsip-Prinsip Good Governance di Daerah” Publikasi resume
Disertasi
S-3 Doktor Ilmu Politik
Universitas Merdeka Malang, (Malang: 2012) .
Hal.4-5
[7] Bintoro “Good
Governance Paradigma Baru Manajemen Pembangunan”, (Jakarta: 2006) . hal.9-14.
[9] Hasan
Ubaidillah, “Kontribus dan Sudarmayanti, Good Governance II” (Bandung:2004),
hal 1-4-13-14
[10] Bintoro “Good
Governance Paradigma BaruManajemen Pembangunan”, (Bandung: 2006), hal. 9-14.
[11] Jailani”
Resume Disertasi S-3 Prinsip-Prinsip Good Governance di Daerah:Studi
Impelemtasi ”(Malang: 2012).hal. 5.
[12] http://achmadsyaini.blogspot.com//hadis-politik.html.Diakses
tanggal 23 Februari 2015
[13] Syamsul
Anwar.” Studi Hukum Islam Kontemporer”, (Yogyakarta, 2006,) hal. 29-30
[14]
M.HasanUbaidillah,“Kontribusi dan Good Governance II”, (Bandung: 2004), hlm.
4
[15] Sudarmayant. “Kontribusi
Good Governance II”. (Bandung:, 2004), hlm. 113-14
[16] http://achmadsyaini.blogspot.com/2010/04/hadispolitik
dan hukum.htm Diakses tanggl 23 Februari 2015
[17] Syamsul Anwar,
Studi Hukum Islam…, (Bandung:2006), hlm. 42.
[18] Loina Lalolo
Krina, “Indikator &
Alat Ukur: Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Makalah, Sekretariat
Good Public Governance Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional”, (Jakarta:2003), hal. 6-7.
[19] Miriam
Budiardjo, “Menggapai Kedaulatan Untuk Rakyat”,( Bandung: 1987), hal 107
[20] Ibid, hal
10.
[21]
Muladi,” Membangun Grand Design
Kebijakan Penegakan Hukum
Yang Mengakomodasi Keadilan Di Era Demokrasi”, Makalah, Disampaikan
dalam FGD Reformasi Penegakan Hukum di
Indonesia‖ Diselenggarakan oleh
KEMENKOPOLHUKAM 12 Oktober 2011,
Hotel Sari Pan Pacific, hal. 7
[22] Agus M
Tauchid,”Good Governance Sebuah Harapan”, http://www.deptan.go.id, Di akses 25
Februari 2015
[23] Meuthia Ganie
Racman“Good governance:Prinsip Komponen dan
Penerapan HAM dalam
Penyelenggaraan Negara Yang Baik & Masyarakat Warga, (Jakarta:2006), hal.7-10
[24] Ibid,
hal 10
[25] Ibid,
hal 12
[26] Joko
Widodo, Good Governance, Insan Cendikia, Surabaya, 2002, hal. 25
[27] Ibid,
hal 13
[28].http://goodgovernance.bappenas.blogspot.go.id./”publikasi
bukusaku beberapa pemikiran tentang Good Governance.pdf”, diakses 25 Februari 2015
[29] Andi Faisal
Bakti, “Good Governance dalam
Islam : Gagasan dan
Pengalaman dalam Negara dan Civil
Society, Gerakan dan Pemikiran
Islam Kontemporer,” (Jakarta:
2005), hal. 343-344.
[30] Syamsul Anwar,
“Epistemologi Hukum
Islam Probabilitas dan
Kepastian”,, Bandung:1993),hal. 30
[31] .
Muhsin Nyak Umar,” Good Governance Dalam Perspektif Hukum Islam” Publikasi
orasi ilmia h Guru Besar pada Fakultas Syari‘ah dan Ekonomi Islam UIN Ar-Raniry
Banda Aceh diakses lewat PDF pada 25
Februari 2015.
[32] Andi
Faisal Bakti, “Good
Governance dalam Islam:
Gagasan dan Pengalaman‖
dalam Negara dan
Civil Society, Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer,” (Jakarta:2005), hal.
343-344
[33] Ibid,
hal. 18
[34]Samsul Anwar,”Epistemologi Hukum
Islam Probabilitas dan
Kepastian”, (Bandung:1994), hal 20
[35] Abdurrahman
ibn Nashir ibn Sa‘di,” Taisir
al-Karim al-Rahman fi Tafsir Kalam al- Mannan”, (Bandung: 2000 ), hal. 228
[36] Ibid,
hal 20
[37]
Paulus Hadisuprapto, “Ilmu Hukum
dan Pendekatannya”, (Semarang:2006),
hal 18.
[38] Peter Mahmud
Marzuki,”Penelitian Hukum,” (Jakarta: 2005), hal.94-95
[39] Ibid hal
24
[40] Lexy J.
Moeleong, “Metode Penelitian Kualitatif,”(Bandung, 2008), hal. 4
[41] Sudarwan
Danim, ’Menjadi Peneliti Kualitatif,”
(Bandung: 2002), hal. 39-40.
[42] Jaelani”Resume
Disertasi S-3 Penerapan Prinsip-prinsip Good Governance di Daerah”(Malang:
2012), hal 37
[43] Kholid Narbuko Achmadi, “Metodologi Penelitian kualitatif”, (Jakarta: 2001), hlm. 18.
Daftar
Pustaka
Andi Faisal
Bakti, (2005). Good Governance
dalam Islam: :
Gagasan dan Pengalaman‖ dalam
Negara dan Civil
Society, Gerakan dan
Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina.
Ardiansah. (2005).Konsepsi Hukum
Islam dalam Mewujudkan Clean
governance dan good government ”Jurnal Hukum
Republica, Vol. 5, No. 1/Th/ 2005.
Abdurrahman ibn Nashir ibn Sa‘di,(2000)”Taisir al-Karim
al-Rahman fi Tafsir Kalam al- Mannan”, Bandung:Pustaka Ilmu
Atoillah Shohibul Hikam (1998). Demokrasi
dan Civil Society. Jakarta: LP3ES.
Agus M
Tauchid, (2013). Good Governance
Sebuah Harapan (artikel).
Diakses 26 Februari 2015 dari http://www.deptan.go.id
Bagir Manan(1990). Hubungan antara Pusat dan Daerah Menurut Azas
Desentralisasi Berdasarkan UUD 1945,Disertasi
S-3 di publikasikan, Universitas Negari Bandung.
Burhan Bungin. (1992), Penelitian Kualitatif, Komunikasi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial lainya. Cet.V,
.Jakarta:Prenada Media Group.
Eva Poluha,; Mona Rosendahl. (2002). Contesting Good Govermance:
crosscultural persepectives on representation,accountability and publik
space.Routeledge. at Geogle Books.ISBN 9780700714940.found di akses pada 30
februari 2015.
Imam Suraji. (2011).Good Governance: Kepemimpinan di
Tengah Perubahan”,
Jurnal Hukum Islam, Vol. 15, No.1.
Joko Widodo (2002), Prinsip-Prinsip
Good Governance, Surabaya: Insan Cendikia
Kholid Narbuko Achmadi, (2001) “Metodologi Penelitian
kualitatif”, Jakarta: Persada
Loina Lalolo Krina. (2003). Indikator
& Alat Ukur: Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Makalah, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Jakarta: Gramedia.
Lexy J. Moeleong (2008), “Metode Penelitian Kualitatif”,
Bandung:Remaja Rosdakarya
Mukhsin Nyak Umar (2002). “Paradigma
Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam,”
Pada Program S3
PPS IAIN Ar-Raniry
Banda Aceh Makalah Lokakarya
Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar –Raniry Darussalam,
Banda Aceh.
Mardiasmo, (2002.).Paradigma Baru
Pengelolaan Keuangan Sektor
Publik dalam Mewujudkan
Good Govenance Dalam Otonomi
dan Manajemen wKeuangan Daerah. Yogyakarta: Gava Media
Meuthia Ganie Rochman. (2006). Good governance :
Prinsip, Komponen dan
Penerapannya‖, dalam HAM :
Penyelenggaraan Negara Yang Baik &
Masyarakat Warga , Komnas HAM, Jakarta:......
Miriam Budiardjo. (1987). Menggapai
Kedaulatan Untuk Rakyat Bandung:
Mizan.
Muladi, (2013).Membangun
Grand Design” Kebijakan
Penegakan Hukum Yang
Mengakomodasi Keadilan Di Era
Demokrasi, Makalah,Disampaikan dalam FGD
Reformasi Penegakan Hukum di Indonesia,” Diselenggarakan oleh KEMENKOPOLHUKAM 30 Februari
2015, Hotel Sari Pan Pacific
diakses file PDF 30 Februari 2015.
M. Hasan Ubaidillah(2008)”Kontribusi
Hukum Islam dalam Mewujudkan Good
Governance di Indonesia,” Jurnal
Al-Qānūn, Vol. 11, No.1
Paulus Hadisuprapto (2006),
“Ilmu Hukum dan
Pendekatannya”, Semarang:........
Peter Mahmud Marzuki (2005). Penelitian Hukum.
Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Qanun Provinsi Nangroe Aceh Darussalam Nomor 11 Tahun 2002
Rozali Abdullah.(2005),”Pelaksanaan Otonomi Luas dengan
Pemilihan Kepala Daerah Secara lansung,” Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Syamsul Anwar. (1994),”Epistemologi Hukum
Islam Probabilitas dan
Kepastian”, . Bandung: Bandar Maju.
Sudarwan Danim (2002) ’Menjadi Peneliti Kualitatif,” Bandung:
Pustaka Setia
Yudian W.Asmin (2004)”
Arah Fiqh Indonesia dalam Good Governance,” Yogyakarta: Pustaka FSHI Fak. Syari’a
Teguh Ambar Sulistiayani (2004). “Memahami Good Gavermance dalam
Persepektif Sumber Daya Manusia,” Edisi I, Cet.I.Yogyakarta: Gava Media.
.