HUKUM SEBAGAI FENOMENA SOSIAL

Muhammad Hadidi SHI,SH

Dimana ada masyarakat disana pasti ada hukum (ubi Societas ibi ius). Hukum ada pada setiap masyarakat manusia dimanapun juga dimuka bumi ini. Bagaimanapun primitifnya manusia dan bagaimanapun modernnya suatu masyarakat pasti mempunyai hukum. Oleh karena itu keberadaan hukum sifatnya universal. Hukum tidak bisa dipisahkan dengan masyarakat, tetapi justru mempunyai hubungan timbal balik antara keduanya.

Hukum mengatur kehidupan manusia sejak berada dalam kandungan sampai meninggal dunia. Hukum mengatur semua aspek kehidupan masyarakat baik ekonomi, politik, sosial, budaya dan sebagainya. Tidak ada satupun aspek kehidupan manusia dalam masyarakat yang luput dari sentuhan hukum. Dengan demikian hukum itu berada dalam masyarakat, karena masyarakatlah yang membentuk hukum. 


Keadaan dan perkembangan hukum senantiasa dipengaruhi oleh masyarakat, sehingga hukum merupakan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat dimana hukum itu berlaku. Dalam kehidupan modern, hukum memiliki posisi yang cukup sentral. Kita dapat mencatat bahwa hampir sebagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum, baik yang berbentuk hukum tertulis maupun hukum yang tidak tertulis
Hukum sebagaimana dikemukakan di atas adalah hukum dalam arti luas, ia tidak hanya sekadar peraturan tertulis yang dibuat oleh penguasa atau badan khusus pembuat undang-undang atau dengan kata lain hukum bukan hanya sesuatu yang bersifat normatif. Hukum juga merupakan fenomena sosial yang tertuang dalam perilaku manusia atau lebih tepatnya perilaku sosial.


Hukum dapat dikatakan sebagai konsensus yang harus diterima bersama sebagai aturan yang wajib di taati dan didukung oleh suatu kekuasaan dalam mempengaruhi kebiasaan-kebiasaan agar selalu berada pada kondisi kesusilaan dalam mewujudkan keserasian keselarasan dan keseimbangan dalam hidupnya. Menurut Sunaryati Hartono ada 4 fungsi hukum dalam pembangunan yaitu : 
1. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan
2. Hukum sebagai sarana pembangunan
3. Hukum sebagai sarana penegak keadilan
4. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat.

Dimana hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan berfungsi mewujudkan kehidupan dalam bermasyarakat secara serasi, selaras dan seimbang. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan tersebut belum tentu dapat berjalan bersamaan dengan hukum. 
Dalam hal ini bisa saja terjadi aneka bentuk kejahatan dalam masyarakat yang merupakan bentuk ketidakseimbangan dalam masyarakat tersebut dan hukum sebagai alat pemelihara ketertiban dan keamanan tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik.



B. PERMASALAHAN
Dari latar belakang diatas maka dapat diambil permasalahan yaitu :
1. Bagaimana Peranan Hukum dalam Mempengaruhi Perilaku Manusia?
2. Bagaimana Aturan-aturan Hukum sebagai suatu Fenomena Sosial?
BAB II
PEMBAHASAN
A. PERANAN HUKUM DALAM MEMPENGARUHI PERILAKU MANUSIA.
Hukum dalam mempengaruhi kehidupan manusia adalah hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial. Kontrol social (social kontrol) biasanya diartikan sebagai suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku. 
Sosial kontrol yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial yang berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian didalam perilaku-perilaku tersebut. Salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan- aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti orang agar tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan. 
Hubungan antara hukum dengan perilaku masyarakat terdapat unsur Pervasive Socially (Penyerapan Sosial) yang artinya bahwa kepatuhan dan ketidakpatuhan terhadap hukum serta hubungannya dengan sanksi atau rasa takut terhadap sanksi dikatakan memiliki suatu pertalian yang jelas, apabila aturan-aturan hukum dengan sanksi-sanksinya atau perlengkapan-perlengkapannya untuk melakukan tindakan paksaan (Polisi, Hakim, Jaksa) sudah diketahui dan dipahami arti dan kegunaannya oleh individu atau masyarakat yang terlibat oleh hukum 
Perwujudan sosial control mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan atau sanksi negatif bagi pelanggarnya. Sedangkan dalam terapi maupun konsiliasi sifatnya remedial artinya mengembalikan situasi pada keadaan yang semula. Oleh karena itu yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi standarnya adalah normalitas, keserasian dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan. 
Fungsi hukum dalam suatu kelompok masyarakat adalah menerapkan mekanisme kontrol sosial yang akan membersihkan masyarakat dari sampah-sampah masyarakat yang tidak dikehendaki sehingga hukum mempunyai suatu fungsi untuk mempertahankan eksistensi suatu kelompok. 
Oleh karena itu hukum harus djalankan untuk menjadi sosial kontrol dalam kehidupan bermasyarakat sebab tugas dan fungsi hukum tidak merupakan tujuan itu sendiri, melainkan juga merupakan instrumen yang tidak dapat digantikan untuk mencapai keseimbangan dalam aktivitas yang dilakukan oleh manusia. 




B. ATURAN-ATURAN HUKUM SEBAGAI SUATU FENOMENA SOSIAL 
Hukum ada karena ia diciptakan, ia tidak jatuh dari langit begitu saja (taken for granted). Dengan kata lain, ia ada sebagai karya manusia yang mengkonstruksi nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Sebagai sebuah proses konstruksi, keberadaannya tidak lepas dari berbagai peristiwa atau kenyataan sosial yang tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling berhubungan satu sama lain. 
Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa : Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan. Oleh karena itu pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai keadilan. 
Hukum sebagai suatu fenomena sosial tidak hanya berlaku bagi individu-individu yang merasakan, mengetahui dan memahami hukum tetapi dipelajari pula bagaimana pandangan dan persepsi masyarakat dan individu terhadap hukum. Selain itu, juga mengenai tujuan aturan-aturan hukum dan mengapa aturan menjadi kehidupan sosial masyarakat yang menjadi aturan sosial. Ada suatu asumsi bahwa hukum menciptakan atau memelihara keteraturan sosial. Ini adalah suatu asumsi yang mungkin ditolak oleh analisa tentang aturan-aturan hukum sebagai suatu fenomena sosial. Meningkatnya penggunaan hukum sebagai suatu legitimasi alat bagi ketenangan dan intervensi dalam area pribadi dengan hubungan sosial yang memberikan efek diam-diam. 
Masalah-masalah fenomena hukum dititikberatkan pada masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan legal relations, umpamanya court room (Ruang Pengadilan), dan solicitor’s office (Kantor Pengacara). Selain itu adalah studi terhadap proses-proses interaksional, organizational socialization, typifikasi, abolisi dan konstruksi sosial. Dengan demikian berarti, melihat hukum sebagai suatu proses atau lebih tepatnya lagi adalah proses sosial.
Salah satu proses sosial yang terdapat dilihat dalam dinamika hukum adalah apa yang terjadi di pengadilan. Untuk memahami proses yang terjadi di pengadilan maka kita harus mengetahui lebih dalam tentang pengadilan. Pengadilan tidak hanya terdiri dari gedung, hakim, peraturan yang lazim dikenal oleh ilmu hukum, melainkan merupakan suatu interaksi antara para pelaku yang terlibat dalam proses pengadilan. Bekerjanya pengadilan menggambarkan interaksi antara sistem hukum dan masyarakat. Peraturan yang mengatur tata cara berperkara dikembangkan lebih lanjut (worked out) melalui perilaku berperkara para pihak yang terlibat dalam proses peradilan, khususnya hakim.
Proses peradilan adalah jauh lebih kompleks dari pada yang dikira banyak orang, yaitu tidak sekadar menerapkan ketentuan dalam perundang-undangan. Proses peradilan juga tercermin dalam perilaku orang-orang yang berperkara atau perilaku dari pejabat pengadilan (court behavior). Mengadili tidak selalu berkualitas full adjudication, melainkan sering juga berlangsung in the shadow of law, di mana penyelesaian secara hukum hanya merupakan lambang di permukaan saja, sedang yang aktif berbuat adalah interaksi para pihak dalam mencari penyelesaian. Hukum dipakai untuk mengemas proses-proses sosiologis dan kemudian memberinya legitimasi melalui ketukan palu hakim. 
Dalam praktek penegakan hukum sehari-hari, praktek kekuasaan kehakiman berada pada pundak dan palu sang hakim. Kedudukan hakim memegang peranan yang penting sebab setiap kasus baik pidana, perdata maupun tata usaha negara akan bermuara pada pengadilan. Hal ini terjadi karena pengadilan merupakan instansi terakhir yang akan menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ini berarti kedudukan pengadilan menempati posisi sentral dalam penegakan hukum. 
Hukum yang berintikan keadilan tidak lain berisi ”janji-janji” kepada masyarakat yang terwujudkan melalui keputusan birokratis. Ini berarti lembaga pengadilan mempunyai kewajiban untuk memberikan dan menjaga terwujudnya janji-janji hukum dan keadilan melalui keputusan-keputusan yang meliputi segala aspek kehidupan seperti bidang ekonomi, perburuhan, hak asasi manusia, demokrasi, lingkungan hidup, kesejahteraan dan hak-hak sipil lainnya
Kenyataan menunjukkan bahwa pengadilan yang disebut sebagai benteng terakhir keadilan hanyalah mitos belaka, karena banyak keputusan yang dihasilkan ternyata justru tidak adil. Apa yang dikatakan bahwa hukum itu tidak steril ternyata benar adanya karena banyak putusan pengadilan yang berpihak kepada mereka-mereka yang memiliki kekuasaan dan kekuatan. Dari hal ini lembaga pengadilan sebagai lembaga yang memberikan keadilan ternyata gagal dan otomatis memperburuk citra pengadilan di masyarakat.
Citra pengadilan di masyarakat cukup banyak ditentukan oleh integritas, sikap dan tindakan hakim. Singkatnya, masalah perilaku hakim terlalu penting untuk tidak dibicarakan, terutama pada saat kita ingin membangun atau mereformasi atau meningkatkan citra pengadilan kita. Dari segi sosiologi hukum, putusan hakim merupakan hasil dari suatu kompleks faktor-faktor, di mana di antaranya adalah faktor hakim atau manusia hakimnya.
Persoalan yang berkaitan dengan lembaga peradilan, citra pengadilan dan perilaku hakim dalam memutus suatu perkara adalah berhubungan dengan proses bekerjanya hukum. Salah satu sudut penglihatan yang dapat dipakai untuk mengamati bekerjanya hukum itu adalah dengan melihatnya sebagai suatu proses, yaitu apa yang dikerjakan dan dilakukan oleh lembaga hukum itu. Dengan melihat hukum sebagai suatu proses, maka dimungkinkan untuk memberikan penekanan kepada faktor-faktor di luar hukum, terutama sekali mengenai nilai-nilai dan sikap masyarakat. 
Dari hal tersebut terlihat bahwa bekerjanya hukum itu merupakan suatu proses sosial dan lebih khusus lagi adalah proses interaksi antara orang-orang yang mengajukan permintaan dan penawaran. Lebih spesifik lagi orang-orang tersebut adalah para aktor dalam ruang pengadilan serta masyarakat yang bertindak selaku pengawas, pengontrol dan juga korban.
Proses sosial merupakan pengaruh timbal balik antara berbagai aspek dalam kehidupan manusia. Dalam proses sosial tersebut, interaksi sosial merupakan bentuk utamanya. Dalam interaksi sosial mengandung makna tentang kontak secara timbal balik atau inter-stimulasi dan respon individu-individu dan kelompok-kelompok. Kontak pada dasarnya merupakan aksi dari individu-individu atau kelompok dan mempunyai makna bagi pelakunya, yang kemudian ditangkap oleh individu atau kelompok lain. 
Komunikasi muncul setelah kontak berlangsung, sehingga terjadinya kontak belum berarti telah ada komunikasi. Komunikasi timbul apabila seseorang individu memberikan tafsiran pada perilaku orang lain. Dengan tafsiran tadi seseorang mewujudkannya dalam perilaku, di mana perilaku tersebut merupakan reaksi terhadap perasaan yang ingin disampaikan oleh orang lain itu. Dari penjabaran di atas, dapat disimpukan bahwa syarat terjadinya interaksi adalah kontak dan komunikasi. 
Interaksi sosial tidak saja mempunyai korelasi dengan norma-norma, akan tetapi juga dengan status, dalam arti bahwa status memberi bentuk atau pola interaksi. Status dikonsepsikan sebagai posisi seseorang atau sekelompok orang dalam suatu kelompok sehubungan dengan orang lain dan kelompok itu. Status merekomendasikan perbedaan martabat, yang merupakan pengakuan interpersonal yang selalu meliputi paling sedikit satu individu, yaitu siapa yang menuntut dan individu lainnya, yaitu siapa yang menghormati tuntutan itu.
Proses peradilan yang berlangsung di pengadilan merupakan proses interaksi yang berlangsung secara formal dan dipenuhi dengan simbol-simbol, atribut dan posisi/kedudukan. Semua itu menunjukkan status masing-masing pihak yang berbeda dan semakin menegaskan bahwa proses interaksi tidak berjalan seimbang karena mereka tidak berada dalam kedudukan yang sama. Kondisi ini pun semakin menegaskan bahwa mitos tentang semua orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum (equity before the law) – khususnya di pengadilan – tak terbukti kebenarannya.
Dalam pemahaman sosiologi hukum, hadirnya hukum adalah untuk diikuti atau dilanggar. Tetapi ada perilaku yang tidak sepenuhnya digolongkan kepada mematuhi hukum yaitu pelanggaran hukum yaitu penyimpangan sosial. Penyimpangan sosial lebih luar dari pada pelanggaran hukum yaitu perbuatan yang tidak sesuai dengan kaedah yang ada sebagai unsur yang membentuk tatanan sosial. Penyimpangan social tidak segera mempunyai arti pelanggaran hukum, dapat pula memandang arti suatu penafsiran terhadap kaidah hukum yang formal. 
Hukum sebagai kerangka luar, lebih banyak menurut streotip perbuatan dari pada deskripsi mengenai perbuatan itu sendiri, akan berhadapan dengan tatanan di dalam dari pada kehidupan social yang lebih subtansial sifatnya, sehingga orang cenderung orang memberikan penafsiran sendiri terhadap hukum. Dan yang demikian lalu hanya berfungsi sebagai pedoman saja. Penafsiran itu membuat hukum menjadi terang terhadap keadaan kongkrit dalam masyarakat. Antara penyimpangan social dan hukum terdapat hubungan yang erat, dimana hukum diminta untuk mencegah dan menindak terjadinya penyimpangan.
Akhirnya, dapatlah dikatakan tidak mudah untuk menilai hukum, perlu waktu panjang dan`bertahap. Sedangkan tujuan hukum adalah ingin memanusiakan manusia itu sendiri.



BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Hukum dalam mempengaruhi kehidupan manusia adalah hukum diartikan sebagai suatu kontrol sosial. Kontrol social (social kontrol) biasanya diartikan sebagai suatu proses baik yang direncanakan maupun tidak, yang bersifat mendidik, mengajak atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi sistem kaidah dan nilai yang berlaku.
Sosial kontrol yang dimaksud adalah yang berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan aturan-aturan sosial yang berpijak pada kemampuan hukum untuk mengontrol perilaku-perilaku manusia dan menciptakan suatu kesesuaian didalam perilaku-perilaku tersebut. Salah satu dari karakteristik hukum yang membedakannya dari aturan- aturan yang bersifat normatif ialah adanya mekanisme kontrol yaitu yang disebut sebagai sanksi. Hukum berfungsi untuk menciptakan aturan-aturan sosial dan sanksi digunakan sebagai alat untuk mengontrol mereka yang menyimpang dan juga digunakan untuk menakut-nakuti orang agar tetap patuh kepada aturan-aturan sosial yang sudah ditentukan.
Perwujudan sosial control mungkin berupa pemidanaan, kompensasi, terapi, maupun konsiliasi. Standar atau patokan dari pemidanaan adalah suatu larangan yang apabila dilanggar akan mengakibatkan penderitaan atau sanksi negatif bagi pelanggarnya. Sedangkan dalam terapi maupun konsiliasi sifatnya remedial artinya mengembalikan situasi pada keadaan yang semula. Oleh karena itu yang pokok bukanlah siapa yang kalah dan siapa yang menang, melainkan yang penting adalah menghilangkan keadaan yang tidak menyenangkan bagi para pihak. Hal itu tampak bahwa konsiliasi standarnya adalah normalitas, keserasian dan kesepadanan yang biasa disebut keharmonisan.
2. Masalah-masalah fenomena hukum dititikberatkan pada masalah-masalah yang berhubungan langsung dengan legal relations, umpamanya court room (Ruang Pengadilan), dan solicitor’s office (Kantor Pengacara). Selain itu adalah studi terhadap proses-proses interaksional, organizational socialization, typifikasi, abolisi dan konstruksi sosial. Dengan demikian berarti, melihat hukum sebagai suatu proses atau lebih tepatnya lagi adalah proses sosial.
Salah satu proses sosial yang terdapat dilihat dalam dinamika hukum adalah apa yang terjadi di pengadilan. Untuk memahami proses yang terjadi di pengadilan maka kita harus mengetahui lebih dalam tentang pengadilan. Pengadilan tidak hanya terdiri dari gedung, hakim, peraturan yang lazim dikenal oleh ilmu hukum, melainkan merupakan suatu interaksi antara para pelaku yang terlibat dalam proses pengadilan. Bekerjanya pengadilan menggambarkan interaksi antara sistem hukum dan masyarakat. Peraturan yang mengatur tata cara berperkara dikembangkan lebih lanjut (worked out) melalui perilaku berperkara para pihak yang terlibat dalam proses peradilan, khususnya hakim
Dalam praktek penegakan hukum sehari-hari, praktek kekuasaan kehakiman berada pada pundak dan palu sang hakim. Kedudukan hakim memegang peranan yang penting sebab setiap kasus baik pidana, perdata maupun tata usaha negara akan bermuara pada pengadilan. Hal ini terjadi karena pengadilan merupakan instansi terakhir yang akan menerima, memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Ini berarti kedudukan pengadilan menempati posisi sentral dalam penegakan hukum.




B. SARAN
Sebagai benteng terakhir, maka diharapkan pengadilan dapat memberikan keputusan yang adil, fair dan tidak memihak bagi para pencari keadilan. Masyarakat atau para pencari keadilan mengharapkan pengadilan dapat berkedudukan sebagai lembaga yang dapat memberikan keadilan pada setiap permasalahan yang dihadapi.
DAFTAR PUSTAKA



Adam Podgorecki & Cristopher J. Whelan, Pendekatan Sosiologis Terhadap Hukum, (Jakarta ; PT. Bina Aksara, 1987) 



Agus, Raharjo, Membaca Keteraturan Dalam Ketakteraturan, dapat dilihat di www.google.com
Ali, Zainnudin, Sosiologi Hukum, (Jakarta : PT Sinar Grafika, 2007)
Patawari_Unhas, Sosiologi Hukum dapat dilihat di www.google.com/ patawari.wordpress.com/2009/02/16/sosiologi-hukum/
Rahardjo, Satjipto , Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Rahardjo, Satjipto, Pendayagunaan Sosiologi Hukum Untuk Memahami Proses-proses Hukum Di Indonesia Dalam Konteks Pembangunan dan Globalisasi, Makalah dalam Seminar Nasional tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturasi Global dan Pembentukan ASHI, PS Hukum dan Masyarakat, FH Undip Semarang, 12-13 November 1996.
Rahardiansah Trubus, & Endar Pulungan, Pengantar Sosiologi Hukum ; Jakarta ; Universitas Trisakti, Tahun 2007)
Winarta, Frans Hendar, Peradilan yang Berkualitas Dalam Suatu Negara Hukum, Majalah Pro Justitia, Tahun XVII No. 4, Oktober 1999



Achmad Syaukani Wizedan (NIM 7109016)
POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF 
HUKUM POSITIF DI INDONESIA 
DILIHAT DARI SEGI ASPEK SOSIOLOGI HUKUM 



I. PENDAHULUAN
Siklus kehidupan manusia dimulai sejak dari dalam kandungan, kemudian lahir kedunia menjadi seorang manusia dengan jenis kelamin laki – laki atau wanita yang tidak dapat berbicara, melainkan hanyalah menangis atau yang biasa orang menyebutnya seorang bayi, kemudian tumbuh menjadi dewasa[1], dan adanya hasrat ingin menikah dalam rangka menyalurkan seksualitas pada tempatnya, sehingga pernikahan adalah kewajiban bagi yang sudah mampu. 
Pernikahan dilakukan antara dua insan yang berbeda jenis kelamin dengan dasar sama – sama cinta atau pun “terpaksa”. Pernikahan dapat dikatakan sah apabila telah tercatat pada UU dan agama, sehingga pernikahan bersifat sakral yang merupakan sarana untuk menciptakan sebuah keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. 
Pada dewasa ini sebuah makna keluarga yang bahagia telah hilang, hal ini dapat terbukti misalnya sebagian laki – laki melakukan sebuah perselingkuhan, yang pada akhirnya melangsungkan perkawinan untuk yang kedua kalinya atau bisa jadi perkawinan yang kesekian kalinya tanpa sepengetahuan atau dengan sepengetahuan istrinya, inilah yang disebut dengan poligami. 
Poligami menjadi polemik dalam kehidupan keluarga, sehingga ada yang pro dan kontra, khususnya bagi kaum wanita yang sangat kontra terhadap poligami. Hal ini karena, mereka merasa telah disakiti dengan cara dimadu, padahal seorang istri masih dapat melaksanakan kewajibannya sebagai istri, baik secara lahir maupun bathin. 
Permasalahan poligami pun menjadi sebuah permasalahan dalam ranah hukum, karena, bila dikaji ulang telah ditegaskan dalam UU No. 1 tahun 1974 pada pasal 3 yang menyatakan bahwa seorang suami hanya boleh memiliki seorang istiri, begitupun sebaliknya seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami. Artinya secara tegas bahwa UU tersebut menyatakan setiap suami atau istri hanyalah menganut asas monogami. Akan tetapi dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2 dijelaskan, dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Pemakalah menganalisa dari UU Perkawinan ini, pada dasarnya poligami dapat terjadi apabila ada ijin dari istri pertama, sehingga tidak adanya pihak yang dirugikan, dengan demikian UU No 1 tahun 1974 pada pasal 3 menjadi batal.
Poligami yang ada pada saat ini berbeda dengan poligami yang telah dilakukan pada zaman Nabi, karena Nabi melakukan poligami bukan berdasarkan nafsu dan Nabi dapat berbuat adil. Akan tetapi poligami yang ada pada saat ini berdasarkan nafsu semata, sehingga niat berpoligami itu bukan untuk menolong atau lain hal sebagainya yang bersifat positif, yang ada mengenyampingkan nilai – nilai keadilan.
Dengan demikian poligami mengakibatkan dampak psikologis dan sosiologis, bahwa tidak ada satupun wanita yang ingin dimadu, dan poligami ini menimbulkan efek sosial seperti hubungan rumah tangga yang menjadi rapuh, sehingga kemitraan suami – istri ini pun bisa mengakibatkan perceraian, yang pada akhirnya dampak negatif yang terjadi adalah anak yang menjadi korban, atau pun dampak lainnya adalah menjadi sebuah pembicaraan bagi masyarakat sekitarnya. 



II. PERMASALAHAN
Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini yaitu : 
a. Apakah yang dimaksud dengan poligami ?
b. Bagaimanakah hukum positif memandang poligami ? 



III. PEMBAHASAN 
A. Pengertian Poligami 
Secera etimologis atau lughowi bahwa kata Poligami berasal dari bahasa Yunani gabungan dari dua kata poli atau polus yang berarti banyak, serta gamein dan gamos yang berarti perkawinan. Dengan demikian poligami berarti perkawinan yang banyak[2]. Secara terminologi atau istilah poligami adalah salah satu perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan[3]. 
Dalam Islam poligami didefinisikan perkawinan seorang suami dengan istri lebih dari seorang dengan batasan maksimal empat orang istri dalam waktu bersamaan[4]. 
Poligami dibagi menjadi tiga bagian[5] : 
1. Poligini adalah seorang pria yang memiliki beberapa istri sekaligus 
2. Poliandri adalah seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus 
3. Pernikahan kelompok dalam bahasa Inggris : Marriage yaitu kombinasi antara poligini dan poliandri. Pada umumnya masyarakat lebih mengenal poligami dibanding dengan poligini, hal ini sejalan dengan Daces dan Trayes yang tidak menggunakan lagi istilah poligini dalam pembagian tipe pemikiran, namun mereka menggunakan istilah poligami.



B. Tinjauan Hukum Positif Terhadap Poligami Dalam Pandangan Sosiologi Hukum
Telah diketahui secara bersama, bahwa hukum yang berada di Negara Indonesia ini adalah civil law, karena KUHP dan KUHPerdata telah diadopsi dari Belanda.Hal ini disebabkan, karena Indonesia merupakan bekas jajahan Belanda, sehingga aturannya mengacu kepada Peraturan Perundang – Undangan. Berbeda halnya dengan Malaysia dan Singapura yang menganut asas Common Law, karena kedua negara tersebut merupakan bekas jajahan Inggris, sehingga semua aturan berdasarkan Yurispedensi atau putusan hakim. 
Poligami merupakan sebuah topik yang hangat dibicarakan oleh orang, karena banyak orang yang telah menentang poligami, dengan alasan prinsip keadilan yang tidak akan terarah artinya seorang suami melakukan poligami itu hanyalah berdasarkan sexsualitas semata, sehingga istri yang tertuapun telah dilupakan secara lahir dan bathin, akan tetapi begitu istri yang kedua dan isteri yang lainnya tidak mencintainya lagi atau katakanlah si laki - laki tersebut sudah tidak memiliki harta benda lagi, maka si laki – laki tersebut “ditendang”, mau tidak mau si laki – laki tersebut kembali kepada istri yang pertama.
Abdul Majid Mahmud Mathlub dalam bukunya yang berjudul Panduan Hukum Keluarga Sakinah, bahwa seorang melakukan poligami karena[6] : 
1. Besarnya jumlah perempuan dibandingkan dengan jumlah laki – laki. 
2. Kehendak untuk menopang umat dengan kaum laki – laki 
3. Kekuatan nafsu seksual yang telah menguasai manusia 
4. Keadaan atau penyakit khusus yang telah dialami oleh sang istri, sehingga tidak mau memberikan kemauan sang suami, tetapi suami tidak ingin menceraikannya. 
Poligami memiliki beberapa dampak khususnya terhadap perempuan Indonesia. Dampak yang umum terjadi terhadap istri yang suaminya berpoligami[7]:
1. Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. 
2. Dampak ekonomi rumah tangga: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari. 
3. Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
4. Dampak hukum: Seringnya terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan akan dirugikan karena konsekwensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya. 
5. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
Jika dilihat dari permasalahan tersebut, bukan berarti tidak boleh dilaksanakan poligami. Pada dasarnya poligami boleh dilaksanakan, asalkan seorang istri sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan suaminya baik secara lahir dan bathin. 
Dengan demikian asas monogami tidak bersifat limitatif saja, karena dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2 disebutkan, dimana pengadilan dapat memberikan ijin pada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak yang bersangkutan. Ketentuan ini dapat membuka kemungkinan bagi seorang suami untuk melakukan poligami dengan ijin pengadilan. Bagi yang beragama Islam harus mendapatkan ijin dari Pengadilan Agama[8], sedangkan yang diluar agama Islam harus mendapatkan ijin dari Pengadilan Negeri.
Pengadilan Agama dapat memberikan ijin poligami apabila ada alasan yang tercantum dalam Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 :[9] 
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri 
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan 
Dengan demikian yang menjadi perhatian dalam pengajuan permohonan berpoligami adalah menyangkut [10]: 
1. Sah atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin lagi. Dalam hal ini menyangkut :
a. Apakah isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri ?
b.Apakah benar bahwa isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan ?
c. Apakah benar bahwa isterinya tidak dapat melahirkan keturunan ?
2. Adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan atau tulisan, khusus untuk persetujuan lisan harus diucapkan dimuka pengadilan
3. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri – isteri dan anak – anak. Untuk mengecek kemampuan suami tersebut dilakukan dengan memperhatikan.
a. Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat dia bekerja
b.Surat keterangan pajak penghasilan 
c. Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan. 
4. Ada atau tidaknya jaminan suami akan berlaku adil terhadap isteri – isteri dan akan – anak mereka dengan pernyataan janji dari suami. 
Yang menjadi sebuah pertanyaan mendasar bahwa dalam poligami harus adanya sebuah rasa keadilan dari pihak suami. Untuk memeriksa kemampuan suami apakah dapat bersikap adil atau tidak terhadap isteri – isteri dan anak – anaknya, maka pengadilan harus memanggil dan mendengarkan isteri yang bersangkutan. Dalam Pasal 42 PPP No. 9 Tahun 1975 dikatakan pemeriksaan tersebut dilakukan oleh hakim selambat – lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran – lampirannya. Pegawai pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seseorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan. 
Jika ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, bahwa Undang – Undang tersebut belum sepenuhnya efektif, karena sangat jelas sekali bagi suami yang ingin berpoligami harus adanya persetujuan dari isteri, serta suami dapat menanggung kehidupan isteri – isteri dan anak – anaknya secara adil, akan tetapi semuanya berada diluar garis kenyataan yang telah ditentukan, yang ada pada saat ini adalah bahwa para isteri dan anaknya telah dirugikan secara moral maupun materil. 
Menurut Prof. Zainuddin Ali dalam bukunya Sosiologi hukum, bahwa hukum tidak dapat berjalan efektif, disebabkan karena empat hal : 
1. Kaidah Hukum 
2. Penegak Hukum 
3. Sarana / Fasilitas Hukum
4. Kesadaran Hukum. 
Pemakalah berpendapat bahwa kasus poligami, bila dikaitkan dari pendapat Prof. Zainuddin Ali, pada UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagai materi atau kaidah hukum, bahwa faktor yang paling mendominan UU tersebut tidak berjalan dengan efektif adalah kesadaran hukum dari suami yang akan berpoligami. 



IV. PENUTUP 
A. Kesimpulan 
Pemakalah menyimpulkan bahwa pada dasarnya poligami di Negara Republik Indonesia berdasarkan tinjauan hukum positif itu dibolehkan, sebagaimana yang telah dijelaskan pada UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, dijelaskan bahwa seorang laki – laki boleh memiliki istri lebih dari satu. 
Permasalahannya adalah, jika seorang suami ingin berpoligami, maka harus memenuhi beberapa persyaratan yang telah ditentukan pada Pasal 4 ayat 2 UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 : 
1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri 
2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan
3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 
Bila ditinjau dari sudut pandang sosiologi hukum, masalah poligami ini tidak berjalan dengan efektif, karena salah satu penyebab utamanya adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat dalam hal ini laki – laki yang ingin berpoligami yang telah mengacuhkan UU tersebut. 



B. Saran
Pemakalah memberikan saran, khususnya kepada para suami yang ada di Negara Indonesia sebaiknya : 
1. Janganlah melakukan poligami, jika isteri masih dapat memenuhi kebutuhan baik secara lahir dan bathin. 
2. Disamping itu pula jika ingin melakukan poligami, maka bersikaplah adil terhadap isteri dan anak – anak, dan juga harus mendapatkan persetujuan dari isteri baik secara lisan maupun tulisan sebagaimana yang telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3. Jangan melakukan pernikahan siri meskipun sah secara agama, tetapi Indonesia adalah negara hukum, maka pernikahan dapat dikatakan sah apabila dilakukan secara agama dan dicatat oleh Pemerintah melalui KUA.







Daftar Pustaka



Ariyani, Mira Faktor Yang Berperan dan Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poligami Depok : Fakultas Psikologi UI, 2004 
Ayu Rahmi, Ratu Inefektifitas Poligami dalam Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, www.badilag.net/index.php+option=com_content&task?view&id??2908&itemid?54&limit?1&limitstart? 3htm, diakses tanggal 20 Juni 2009 
Departemen Agama, Al Quran : Surat An Nisaa ayat 3
http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090410105226AAMqRCq, 
Jehani, Libertus, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, Jakarta :Forum Sahabat, 2008 
Kamus Besar Bahasa Indonesia 
Kompilasi Hukum Islam Pasal 51 ayat 1
Majid Mahmud Mathlub, Abdul, Panduan Keluarga Sakinah, Solo : Era Intermedia, 2005. 
Nasution, Khairuddin, Riba dan Poligami : Sebuah Studi Atas Pemikiran, Jakarta : Grafika Insan Permata, 1996 
Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Jakarta : Visimedia, 2009







________________________________________
[1]Pengertian dewasa ini sangat beraneka ragam seperti halnya dalam UU No 1 Tahun 1974 http://id.answers.yahoo.com/question/index?qid=20090410105226AAMqRCq, sedangkan dalam Agama Islam pengertian dewasa bagi laki – laki sudah mengalami mimpi basah atau bagi wanita yang sudah haid, agar lebih jelas lihat kitab fiqh seperti safinatunnajah.
[2]Khairuddin Nasution, Riba dan Poligami : Sebuah Studi Atas Pemikiran, (Jakarta : Grafika Insan Permata, 1996), hal 84 
[3]Kamus Besar Bahasa Indonesia 
[4]Departemen Agama, Al Quran : Surat An Nisaa ayat 3 
[5]Mira Ariyani, Faktor Yang Berperan dan Terjadi Dalam Keputusan Perempuan Dewasa Untuk Menjadi Istri Kedua Pada Pernikahan Poligami (Depok : Fakultas Psikologi UI, 2004), hal 88 
[6]Abdul Majid Mahmud Mathlub, Panduan Keluarga Sakinah, (Solo : Era Intermedia, 2005), Cet. Ke I, hal. 127. 
[7]Ratu Ayu Rahmi, Inefektifitas Poligami dalam Tinjauan UU No. 1 Tahun 1974, www.badilag.net/index.php+option=com_content&task?view&id??2908&itemid?54&limit?1&limitstart? 3htm, diakses tanggal 20 Juni 2009 
[8]Untuk lebih jelasnya lihat Pasal 51 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam 
[9]Undang – Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Undang – Undang Nomor. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, (Jakarta : Visimedia, 2009), Cet. Ke II, hal 3. 
[10]Libertus Jehani, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya ?, (Jakarta :Forum Sahabat, 2008), Cet Ke I, hal.35 – 36.