Tinjauan Teoritis Pengeloaan Alokasi Dana Desa (ADD) Dalam Persepektif Administrasi Negara
| Oleh Muhammad Hadidi.,S.Sy.MH Dosen Hukum dan Ekonomi Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Teungku Dirundeng Meulaboh |
Masyarakat Desa di Indonesia sudah lama akrab dengan perencanaan
dari atas (top down planning) pada masa Orde Baru. Meskipun sejak 1982
telah dikenal perencanaan dari bawah (bottom up planning), mulai dari
Musyawarah Pembangunan Desa (Musbangdcs)
hingga Rakorbangnas, tetapi keputusan tentang kebijakan dan program pembangunan
Desa tetap terpusat dan bersifat seragam untuk seluruh wilayah.
Perencanaan yang terpusat itu juga disertai dengan berbagai proyek
bantuan pembangunan Desa, baik yang bersifat spasial (Bantuan Desa) maupun yang
sektoral. Setiap departemen, kecuali Departemen Luar Negeri, mempunyai program
program bantuan pembangunan Desa.
Sudah banyak kritik dan bukti empirik yang memperlihatkan
kelemahan perencanaan terpusat dan mode bantuan itu. Kritik secara umum,
mengatakan bahwa Desa merupakan obyek pembangunan, sekaligus tempatmembuang bantuan
(sedekah). Pola kebijakan yang sentralistik dan seragam ternyata cenderung
tidak sesuai dengan kebutuhan lokal dan mematikan konteks sosial yang beragam. Konsep "bantuan" ternyata tidak
memberdayakan, dan sebaliknya malah menciptakan keadaan ketergantungan atau
budaya meminta minta.
Pengalaman masa lalu itu, mengalami perubahan di masa
desentralisasi. Sejak beberapa tahun yang lalu, desentralisasi telah melakukan
devolusi perencanaan, yakni mengubah model perencanaan terpusat menjadi
perencanaan yang terdesentralisasi, atau perencanaan yang lebih dekat dengan
masyarakat lokal. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan penuh untuk
mempersiapkan perencanaan sendiri (self planning) yang sesuai dengan
konteks lokal, sekaligus memiliki kepastian anggaran dari dana perimbangan
pusat-daerah. Menurut UU No. 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dan UU
No. 25 Tahun 2004 sistem perencanaan pembangunan nasional, perencanaan daerah
itu harus ditempuh secara partisipatif dan berasal dari bawah (bottom up
planning), yaitu bermula dari aras Desa.
Perencanaan pembangunan sekarang tampak lebih desentralistik dan
partisipatif, yang memungkinkan pemerintah daerah menghasilkan perencanaan
daerah yang sesuai dengan konteks lokal serta proses perencanaan daerah
berlangsung secara partisipatif dan berangkat dari Desa. Namun ada sejumlah
kelemahan sistem dan metodologi perencanaan daerah, yang justru memperlemah
kemandirian dan kapasitas Desa.
Pertama, UU No. 23 Tahun 2014
maupun UU No. 25 Tahun 2004 sama sekali tidak mengenal perencanaan Desa, atau
tidak menempatkan Desa sebagai entitas yang terhormat dalam sistem perencanaan
pembangunan nasional. Sementara PP No. 72/2005 (turunan dari UU No. 32/2004)
justru yang memperkenalkan perencanaan Desa, tetapi konsep perencanaan Desa
yang dikemukakan bukanlah perencanaan otonom (self planning), melainkan
perencanaan Desa sebagai bagian (subsistem) dari perencanaan daerah
Dalam konteks posisi ini, Desa hanya "bertugas"
menyampaikan usulan sebagai input perencanaan daerah, bukan
"berwenang" mengambil keputusan secara otonom untuk menyusun
perencanaan Desa.
Kedua, secara metodologis
perencanaan daerah mengandung kesenjangan antara "hasil sektoral"
dengan "proses spasial". Perencanaan daerah sebenarnya menghasilkan
Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) yang bersifat sektoral (pendidikan,
kesehatan, prasarana daerah, pertanian, perikanan, perkebunan, pariwisata, dan
lain-lain), tetapi prosesnya menggunakan pendekatan spasial, yaitu melalui
Musrenbang Desa dan kecamatan. Apa risiko kesenjangan ini? Dalam Musrenbang Desa,
masyarakat Desa tidak mempunyai kapasitas untuk menjangkau isu-isu sektoral.
Meskipun di wilayah Desa terdapat prasana pendidikan dan kesehatan, misalnya,
masyarakat Desa tetap tidak mempunyai kapasitas untuk menjangkau prasarana itu.
Ketiga, perencanaan pembangunan di
tingkat Desa belum partisipatif. Peran elite Desa yang mengklaim mewakili
aspirasi masyarakat masih mendominasi kekuatan dalam menentukan kebijakan
pembangunan Desa. Sekarang istilah partisipasi stakeholders sebenarnya sudah populer diadopsi oleh pemerintah
sebagai sebuah pendekatan partisipatif dalam pembangunan. Di Desa, istilah itu
juga cukup akrab diungkapkan para elite Desa. Tetapi stakeholders yang
terlibat dalam perencanaan pembangunan masih berkutat pada aktor pemerintahan
Desa dan lembaga-lembaga formal di tingkat Desa (lurah, BPD, PKK, LPMD, RT, dan
RW. Keterlibatan organisasi-organisasi sektoral, organisasi kemasyarakatan yang
lain, dan kelompok perempuan masih sangat terbatas.
Keempat, proses partisipasi dan
perencanaan di Musrenbangdes menghadapi distorsi dari proyek-proyek tambahan
dari pemerintah, misalnya Program Pengembangan Kecamatan (PPK). PPK adalah
proyek yang tidak menyatu (integrasi) dengan Musrenbang reguler, tetapi ia
membikin sendiri proses dan forum perencanaan. Temuan di lapangan menunjukkan
bahwa masyarakat enggan berpartisipasi dalam Musrenbang reguler, dan tampak
lebih bersemangat berpartisipasi dalam Forum PPK. Mengapa? Musrenbang reguler
sungguh melelahkan dan membosankan karena tidak ada kejelasan anggaran yang
bakal diterima Desa. Sebaliknya Forum PPK, yang sudah berjalan sejak 1998
hingga sekarang, tampak lebih partisipatif dan bergairah karena proyek ini
mampu memastikan pagu anggaran yang akan diperoleh oleh Desa.
Kelima, proses perencanaan
partisipatif dari bawah yang bekerja dalam wilayah yang luas, kondisi sosial
yang segmented dan struktur pemerintahan yang bertingkat-tingkat, cenderung
menimbulkan jebakan proseduralistne dan kesulitan representasi (Brian & Kikula, dalam Damyati 2015:137).
Dalam proses partisipasi, kelompok-kelompok marginal dan perempuan
yang hidup di Desa pasti tidak terwakili dalam perencanaan daerah.
Selain itu perencanaan partisipatif yang bertingkat dari bawah
memang tidak dihayati dan dilaksanakan secara otentik dan bermakna atau "murni
dan konsekuen", melainkan hanya prosedur yang harus dilewati. Sebagai
prosedur formal, perencanaan dari bawah sebenarnya hanya sebagai alat
justifikasi untuk menunjukkan kepada publik bahwa perencanaan pembangunan yang
dilalui oleh pemerintah kabupaten telah berangkat dari bawah (dari Desa) dan
melibatkan partisipasi masyarakat. Yang terjadi sebenarnya adalah perencanaan
yang tidak naik ke kabupaten, dan program-program kabupaten yang turun ke Desa
ternyata juga tidak mengalami pemerataan. Banyak Desa yang kecewa karena setiap
tahun membuat perencanaan tetapi ternyata programnya tidak turun.

